Aku tenggelam dalam kisah cinta yang penuh warna. Terkadang kelam berpendar dalam hati, seringkali terang berbinar dalam sukma. Aku punya tempat untuk semua rasa. Seperti saat itu, ketika dia memutuskan pergi.
“Kamu terlalu baik untukku,” isaknya dalam derai airmata.
“Bukankah itu harapanmu?”
“Tapi tidak seperti ini,” balasnya. Tidak terbendung air bergulir
membasahi pipi mungilnya. Berat rasanya menahan tangan ini bergerak
menghapusnya. Seperti biasa aku lakukan. Dulu. Bukan sekarang.
“Kenapa? Apakah aku tidak pantas untukmu?” desakku. Berharap
mendapat kepastian. Aku benci tanda tanya.
Perempuan yang telah kukenal dua tahun itu, hanya menggeleng
pelan. Bibirnya nampak bergetar. Hanya sedu sedan yang masih terdengar jelas,
dalam ritme yang selaras. Semua tentangnya selalu selaras. Seperti malam itu,
rambut hitam tebalnya jatuh tepat di atas bahunya. Tidak lebih, tidak kurang. Lengan
kemeja magenta yang dikenakannya tergulung pas di siku, tidak terlalu turun
atau naik.
“Justru kamu sangat sempurna untuk aku,” jawabnya pelan. Kedua
mata beningnya masih tidak menatapku.
Tidak lama, sebuah mobil sedan muncul di ujung jalan. Seorang
pria datang dengan sweter hitam dan payung transparan. Berjalan pasti ke arah
perempuanku. Aku sungguh tidak menyadari cuaca saat itu. Hal terakhir yang aku ingat, pedih di dada
ketika ia masuk ke dalam mobil.
Tentu saja itu hanya salah satu dari sekian kisah romansa
dalam kehidupanku. Seperti aku bilang, kisahku berwarna. Ketika aku bilang berwarna,
bahkan taman bunga pun kalah semerbak. Seperti waktu itu, ketika dia memutuskan
untuk tinggal.
“Aku mencintaimu!” teriaknya dalam jarak dua meter. Aku bahkan
belum melihat wujudnya, namun suaranya telah lebih dulu menghampiriku.
Melihatku kebingungan mencari sumber suara, ia muncul dari
belakangku. Tertawa lebar dan memelukku erat. Seakan aku akan meninggalkannya apabila
tidak didekap.
“Aku mencarimu kemana-mana. Kemana saja kamu?” ujarnya
setelah melepaskan pelukannya. Ah, hilang
hangatnya. Batinku berkata. Ingin memintanya mendekapku selamanya.
“Aku harus mengembalikan buku ini, baru saja aku mau ke
kantin. Kita berjanji bertemu di sana, bukan?” tanyaku ragu. Dia selalu
membuatku ragu.
“Tapi aku kangen kamu. Kamu tidak balas pesanku,” tangannya
mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menggoyang-goyangkannya di hadapanku. Aku
terkesiap dan segera membuka ponselku yang sedari tadi ada di dalam tas. Lima belas
pesan dan dua panggilan. Dalam tiga puluh menit.
“Kita baru bertemu di kelas pagi tadi,” ucapku sambil
menatapnya. Keningku berkerut. Tidak yakin apakah kalimatku meminta jawaban atau
suatu pernyataan.
“Itu kan sudah dua jam yang lalu. Sudah lama,” jemarinya
menggapai lengan kananku. Melingkarkannya dan mendekatkan tubuhnya ke arahku.
Aku membiarkannya. Aku tidak bisa mengatakan tidak padanya. Bukan
karena aku tidak mau, tapi karena aku ingin menyimpan energiku. Perempuan itu
tidak dapat menerima kata tidak dalam hidupnya.
Aku membiarkannya selama dua tahun. Sampai aku menemukannya
di satu pagi sebelum kelas, ketika aku menjemputnya seperti biasa. Tubuhnya tergolek
lemah di atas ranjang, dengan urat nadi berlumuran darah segar.
Aku menghargai setiap perempuan dalam hidupku. Mereka hadir
dengan berbagai cerita dan meninggalkan bermacam kisah.
“Kamu selalu menulis. Apa yang kamu tulis?” tangannya
menarik pena yang sedang kugenggam. Di antara kami, dua gelas kopi telah lama
tandas.
“Cerita sehari-hari,” ujarku pendek.
“Tentang kita?”
“Tentang kehidupan.”
“Kenapa kamu tidak menulis tentang kita?”
“Apa yang ingin diceritakan?”
“Hmm,” dia tampak berpikir. Tangan kanannya yang sebelumnya
menggenggam penaku, sekarang memegang lehernya. Jari-jemarinya bergerak
bergantian, menggelitik dagunya. “Bagaimana kita bertemu dan akhirnya bersama?”
“Oke.” Balasku singkat.
“Oke?”
“Iya, oke. Aku akan tulis tentang kita.”
“Semudah itu?”
“Kenapa dipersulit?”
“Aku tidak tahu. Aku pikir kamu butuh ide yang lebih luar
biasa dari itu. Kamu selalu mempertanyakan hidup, menantang alam atau menguji
keadaan. Selalu seperti itu.”
Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Perempuan itu
membalas tatapanku dengan senyuman. Perlahan, ia mendekatkan mukanya ke arahku
dan menempelkan bibirnya. Aku terpaku. Tidak dapat bergerak. Tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Ia pasti dapat membaca air mukaku, karena ia tertawa.
“Kamu lucu,” ujarnya pelan di telingaku. “Kamu menulis puluhan
sajak, memiliki ratusan tulisan, tapi,” ia berhenti. Memalingkan mukanya
sedikit, untuk menatap kedua mataku lekat, “tidak pernah ada ceritamu yang
berasal dari hati. Tidak ada nyawa.”
Aku terkesiap. Sial,
dia tahu.
“Jadi, saat ini, aku akan memberimu cerita dari hati.”
Perempuan itu mempertemukan bibirnya dengan bibirku. Memagutku
dalam remang warung kopi. Memberikan rasa akan kecupan pertama. Membangkitkan
sesuatu dalam hatiku. Sesuatu yang belum pernah diberikan perempuan-perempuan
lain selama hidupku.
Aku berharap dia kekal.
----
693 kata
Genre: Romance
Profesi Tokoh: Pensyair
0 comments:
Post a Comment